Bisnis farmasi seperti obat, merupakan bisnis yang sangat menggiurkan, bagi kebanyakan orang. Karena seperti halnya makanan, pakaian, dan alat-alat bangunan, semuanya akan selalu dibutuhkan oleh semua orang dan juga karena meningkatnya kesadaran akan kesehatan pada masa sekarang ini. Begitu juga barang farmasi lain seperti produk kecantikan. Pasar produk farmasi indonesia terus meningkat secara signifikan, dimana belanja kesehatan di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai US$ 21,7 miliar, tumbuh sekitar 6% dari tahun ini. Dan Pertumbuhan 6% tersebut diproyeksikan akan terjadi sampai tahun 2018 nanti (1). Tapi seberapa sehatkah bisnis farmasi?Berapa banyakkah pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan?
Produk farmasi yang dalam hal ini adalah obat tidak sama dengan komoditas lain seperti baju. Jika konsumen salah beli baju, dampaknya adalah terhadap kepuasan, dan uang terbuang sia-sia. Tapi jika konsumen salah beli obat, dampaknya tidak hanya terhadap uang tapi juga terhadap kesehatan. Penyakit tidak segera sembuh atau yang semakin parah bisa memperburuk kondisi kesehatan.
Para pelaku bisnis banyak yang tau, tapi mungkin banyak pula yang lupa atau pura-pura tidak tau bahwa obat tidak bisa benar-benar dijadikan objek untuk meraup keuntungan semata. Jika itu yang terjadi, maka kesehatan orang banyak yang akan menjadi korbannya. Tidak hanya itu, bisnis obat-obatan ini berpotensi juga untuk “mengotori “pendapatan si pelaku bisnis dan pihak lain yang terkait.
Pertama kita lihat dari industri farmasi. Industri farmasi memproduksi obat dan kemudian mempromosikannya agar laku dipasaran. Promosi dari industri farmasi ini tidak hanya lewat iklan di media-media cetak dan elektronik, tapi juga promosi langsung oleh medrep (medical representative) industri farmasi kepada dokter-dokter untuk menggunakan produk mereka. Si medrep ini akan memberikan tawaran dari perusahaan farmasi seperti tiket jalan-jalan keluar negri apabila si dokter mau meresepkan obat dari industri farmasi mereka. Yah, lebih tepatnya usaha ini disebut sogokan. Jika mencari uang caranya tidak baik maka pendapatannya pun tidak akan berkah. Kalau karyawan yang bekerja di industri farmasi tersebut mengetahui bahwa industri tempat mereka bekerja melakukan hal seperti itu, maka itu sama saja mereka berserikat dalam tindakan tersebut jika mereka tetap bekerja disana.
Seorang teman saya pernah bekerja di salah satu industri farmasi besar di Indonesia. Dia mengatakan, “setelah masa kontrak saya habis di perusahaan ini,saya harap bisa mendapatkan pekerjaan di industri yang “baik”. Bayangkan saja, industri farmasi itu kan menjual produk mereka salah satunya dengan menyogok dokter agar meresepkan produk mereka. Keuntungan yang mereka peroleh otomatis itu juga akan masuk ke dalam gaji yang saya terima. Saya tidak mau pendapatan saya tidak diberkahi.”
Nah, terlebih lagi si medrep tadi yang langsung melakukan praktek sogok, pendapatannya lebih tidak berkah lagi.
Kedua dari si dokter. Dokter yang tergiur dengan tawaran si medrep dan meresepkan obat dari industri farmasi si medrep tadi tanpa memperdulikan kebaikan pasien, baik dari segi kualitas obat maupun dari segi harga. Tentu saja, tidak semua dokter dan industri farmasi ingin terlibat dan melakukan praktek tidak baik ini.
Ketiga, pelaku bisnis farmasi di apotek. Kebanyakan pemilik apotek itu bukanlah orang yang memiliki latar belakang farmasi. Walaupun pada akhirnya setelah sekian tahun menjalanikan bisnis apotek mereka akan tau banyak tentang obat, tapi tetap saja mereka tidak paham bagaimana obat itu seharusnya, kapan obat A boleh dijual, kapan obat B tidak boleh dijual, kepada siapa saja obat C boleh dijual dan lain-lain. Yang sering saya temui dan saya dengar, pemilik apotek itu meningkatkan penjualan mereka dengan menjualnya kepada bidan-bidan, mulai dari obat OTC (over the counter), obat keras bahkan psikotropik. Yang menjual psikotropik tentu saja itu adalah ilegal, karena membeli dan menjual psikotropik dan narkotik itu berbeda prosedurnya dengan obat-obat lainnya. Bahkan karena semakin tamaknya, mereka membeli obat dari distributor/PBF (pedagang besar farmasi) tidak resmi dimana mereka membeli obat palsu agar modalnya lebih murah. Kalau sudah seperti ini, mana ada lagi berkah pada penghasilan mereka. Ditambah lagi kerugian bagi pasien karena apotek menjual tanpa aturan kepada bidan. Bidan memberikan obat kepada pasien yang seharusnya bukan wewenang bidan yang memberikannya, melainkan wewenang dokter.
Bagi saya, setiap bidang usaha memiliki aturan, tetapi usaha atau berbisnis di bidang kesehatan memiliki aturan yang jauh lebih banyak. Jika bidang kesehatan sudah dijadikan bisnis untuk mencari keuntungan semata, maka orang kebanyakan akan menjadi korban dan penghasilan tidak akan berkah.
Jadi, sehat tidaknya bisnis farmasi, itu tergantung pelaku bisnisnya. Semoga semakin banyak pelaku bisnis farmasi yang paham akan hal ini.
Sumber:
sumber gambar: google search